Senin, 06 Mei 2013

Bagaimana Perijinan Apotek(er) seharusnya..?

INILAH JAWABAN
MENGAPA “IZIN APOTEK” SUDAH TIDAK MEMILIKI DASAR HUKUM

Demikian banyaknya pertanyaan dan pernyataan dari kalangan tertentu yang masih menganggap bahwa izin apotek (SIA) dan izin praktik apoteker  (SIPA) adalah 2 (dua) entitas yang saling berdiri sendiri. Pandangan tersebut  akan cenderung mempertahankan penderian bahwa izin apotek akan tetap dipertahankan sampai dengan ada “Peraturan Baru” dari Kementerian Kesehatan yang menyatakan Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1992 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tulisan ini hanya ingin menyampaikan bahwa Peraturan Terakhir/Terbaru yang telah menyatakan telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi atas Peraturan [“yang setara” berikut Ketentuan pelaksanaan di bawahnya] sebelumnya  adalah bersifat mengikat dan harus digunakan sebagai landasan hukum yang sah (berlaku) sejak diundangkannya (Peraturan Terakhir/Terbaru) tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengurai mengurai kesimpangsiuran pandangan yang terkait  dengan Apotek, Izin Apotek, Apoteker dan Izin Praktik Apoteker; dan memberikan argumen yuridis bahwa “Surat Izin Apotek” yang diterbitkan sejak 01 September 2009 adalah tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum

A.      PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN
Pasal 63, PP51/2009 jelas menyatakan bahwa PP25/1980 tentang Perubahan atas PP26/1965 tentang “Apotek”, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Artinya seluruh substansi naskah PP25/1980 sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi sejak 01 September 2009 saat mana PP51/2009 diundangkan.

1.       Runutan PP25/1980 yang dicabut
Pasal I. 1. Pasal 1 : Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat.

Adalah telah dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya diberi pengertian baru oleh PP51/2009 menjadi :
1)  Pasal 1.13 : Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2)   Pasal 1.1 : Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, penyediaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran pbat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.

Pasal I.2. Pasal 2 : Tugas dan fungsi apotik adalah :
a.    Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Adalah telah dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya ditataulang  oleh PP51/2009 menjadi :
 (tugas dan fungsi Apoteker) dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian (Apotek, .....)
1)      Pasal 21 (1) : Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian
2)  Pasal 21(2) : Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker
3)      Pasal 23 (1) : Apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. SPO harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu dan teknologi  di bidang farmasi dan sesuai peraturan perundang-undangan.
4)  Pasal 24 butir a : Apoteker dapat mengangkat Apoteker pendamping yang memiliki SIPA
5) Pasal 24 butir b : Apoteker dapat mengganti merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
6)  Pasal 24 butir c : Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7) Pasal 25 (1) : Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
8)  Pasal 25 (2) : Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
9)   Pasal 35 (1) : Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian
10)   Pasal 35 (2) : Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan menerapkan Standar Profesi
11)   Pasal 35 (4) : Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


 Pasal I.3.b Pasal 3 : Setelah mendapat izin Menteri Kesehatan sebagaimana     
 dimaksud dalam Pasal 5 (maksudnya adalah “PP26/1960”), apotik dapat diusahakan oleh :
a.      Lembaga atau instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di Daerah;
b.      Perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh Pemerintah;
c.       Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan.
Pasal I.4. Pasal 4
(1)  Pengelolaan apotik menjadi tugas dan tanggungjawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi
(2) Tatacara pelaksanaan tugas dan tanggungjawab apoteker sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
(3)  Tugas dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggungjawab seorang dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
*) Tatacara pelaksanaan tugas dan tanggungjawab apoteker pada ayat ini selanjutnya akan melahirkan Permenkes 922-1993 yang kemudian dirubahsebagian  (bukan dicabut) oleh Kepmenkes 1332-2002.

Adalah telah dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya dirubah oleh PP51/2009 menjadi :
1)      Pasal 1 angka 13 : Apotek adalah .....oleh Apoteker
2)      Pelayanan Kefarmasian di Apotek......( puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit) hanya dapat dilakukan oleh Apoteker
3) Pasal 52 (1) : Setiap Tenaga Kefarmasian (Apoteker) yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.
4)      Pasal 52 (2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a.       SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek....
b.  SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping.
5)      Pasal 55 (1) : Untuk mendapatkan surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Tenaga Kefarmasian (Apoteker) harus memiliki :
a.       STRA,......yang masih berlaku
b.      Tempat atau ada tempat :
-          untuk melakukan Pekerjaan kefarmasian, atau
-          fasilitas kefarmasian atau
-          fasilitas kesehatan yang memiliki izin.
c.       rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat

Pasal I.5  Pasal 6 : Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dan hal-hal teknis lainnya yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.

Adalah telah dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya diamanatkan oleh PP51/2009 berupa :
1)      Pasal 21 (4) : Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan oleh Menteri.
2)      Pasal 29 : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 27 [Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai tugas dan fungsinya] diatur dengan Peraturan Menteri.

2.    Runutan Permenkes yang mengikutinya
Peraturan-peraturan Menteri Kesehatan sebagai konsekuensi perintah PP25 Tahun 1980 terutama Pasal I.3.b dan Pasal I.4 ayat (2) melahirkan Permenkes 922/MENKES/PER/X/1992 yang selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek.
Karena Permenkes 922/MENKES/PER/X/1992 yang selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek (yang melahirkan SIA) adalah merupakan perintah dan menjadi bagian dari Pasal I.3.b dan Pasal I.4 ayat (2) yang merupakan substansi administratif dari PP25/1980 sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 63 PP51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian; maka Permenkes 922/MENKES/PER/X/1992 yang selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek (yang melahirkan SIA) juga telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

B.      BAGAIMANA PERIZINAN SEHARUSNYA ?
Dengan telah diterbitkannya Permenkes 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan izin Kerja Tenaga Kefarmasian maka :
1. Perizinan Apotek (SIA) sudah tidak memiliki landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
2.  Perizinan Praktik Apoteker (SIPA) merupakan perintah peraturan perundangan yang berlaku.

 Sumber : PD IAI Jawa Barat