INILAH JAWABAN
MENGAPA “IZIN
APOTEK” SUDAH TIDAK MEMILIKI DASAR HUKUM
Demikian banyaknya
pertanyaan dan pernyataan dari kalangan tertentu yang masih menganggap bahwa
izin apotek (SIA) dan izin praktik apoteker
(SIPA) adalah 2 (dua) entitas yang saling berdiri sendiri. Pandangan
tersebut akan cenderung mempertahankan penderian
bahwa izin apotek akan tetap dipertahankan sampai dengan ada “Peraturan Baru”
dari Kementerian Kesehatan yang menyatakan Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1992
tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Tulisan ini hanya ingin
menyampaikan bahwa Peraturan Terakhir/Terbaru yang telah menyatakan telah
mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi atas Peraturan [“yang setara”
berikut Ketentuan pelaksanaan di bawahnya] sebelumnya adalah bersifat mengikat dan harus digunakan
sebagai landasan hukum yang sah (berlaku) sejak diundangkannya (Peraturan
Terakhir/Terbaru) tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengurai mengurai kesimpangsiuran
pandangan yang terkait dengan Apotek, Izin Apotek, Apoteker dan Izin
Praktik Apoteker; dan memberikan argumen yuridis bahwa “Surat Izin Apotek” yang diterbitkan sejak 01
September 2009 adalah tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum
A.
PERSPEKTIF
PERATURAN PERUNDANGAN
Pasal 63,
PP51/2009 jelas menyatakan bahwa PP25/1980 tentang Perubahan atas PP26/1965
tentang “Apotek”, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Artinya seluruh
substansi naskah PP25/1980 sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat
lagi sejak 01 September 2009 saat mana PP51/2009 diundangkan.
1.
Runutan
PP25/1980 yang dicabut
Pasal I. 1. Pasal 1 : Dalam Peraturan Pemerintah
ini yang dimaksud dengan apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat.
Adalah telah
dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya diberi pengertian baru oleh
PP51/2009 menjadi :
1) Pasal
1.13 : Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker.
2) Pasal
1.1 : Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, penyediaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran pbat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika.
Pasal
I.2. Pasal 2 : Tugas dan fungsi apotik adalah :
a. Tempat
pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana
farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan
penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana
penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.
Adalah telah dicabut dinyatakan dicabut dan
selanjutnya ditataulang oleh PP51/2009
menjadi :
(tugas dan
fungsi Apoteker) dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
pelayanan kefarmasian (Apotek, .....)
1)
Pasal
21 (1) : Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian
2) Pasal
21(2) : Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh Apoteker
3)
Pasal
23 (1) : Apoteker harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. SPO harus
dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai
perkembangan ilmu dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai peraturan perundang-undangan.
4) Pasal
24 butir a : Apoteker dapat mengangkat Apoteker pendamping yang memiliki SIPA
5) Pasal
24 butir b : Apoteker dapat mengganti merek dagang dengan obat generik yang
sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter
dan/atau pasien.
6) Pasal
24 butir c : Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika
kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7) Pasal
25 (1) : Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal
dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
8) Pasal
25 (2) : Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik
modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker
yang bersangkutan.
9) Pasal
35 (1) : Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memiliki
keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian
10)
Pasal
35 (2) : Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan dengan menerapkan Standar Profesi
11)
Pasal
35 (4) : Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
dimaksud
dalam Pasal 5 (maksudnya adalah “PP26/1960”), apotik dapat diusahakan oleh :
a. Lembaga
atau instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di
Daerah;
b. Perusahaan
milik negara yang ditunjuk oleh Pemerintah;
c. Apoteker
yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri
Kesehatan.
Pasal I.4. Pasal 4
(1) Pengelolaan
apotik menjadi tugas dan tanggungjawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai
ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi
(2) Tatacara
pelaksanaan tugas dan tanggungjawab apoteker sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
(3) Tugas
dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
tanpa mengurangi tugas dan tanggungjawab seorang dokter berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
*) Tatacara pelaksanaan tugas dan tanggungjawab
apoteker pada ayat ini selanjutnya akan melahirkan Permenkes 922-1993 yang
kemudian dirubahsebagian (bukan dicabut)
oleh Kepmenkes 1332-2002.
Adalah telah
dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya dirubah oleh PP51/2009 menjadi :
1)
Pasal
1 angka 13 : Apotek adalah .....oleh Apoteker
2)
Pelayanan
Kefarmasian di Apotek......( puskesmas
atau instalasi farmasi rumah sakit) hanya dapat dilakukan oleh Apoteker
3) Pasal
52 (1) : Setiap Tenaga Kefarmasian (Apoteker)
yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin
sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.
4)
Pasal
52 (2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a.
SIPA
bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek....
b. SIPA
bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping.
5)
Pasal
55 (1) : Untuk mendapatkan surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
Tenaga Kefarmasian (Apoteker) harus memiliki :
a.
STRA,......yang
masih berlaku
b.
Tempat
atau ada tempat :
-
untuk
melakukan Pekerjaan kefarmasian, atau
-
fasilitas
kefarmasian atau
-
fasilitas
kesehatan yang memiliki izin.
c.
rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat
Pasal
I.5 Pasal 6 : Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah ini dan hal-hal teknis lainnya yang belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
Adalah telah
dicabut dinyatakan dicabut dan selanjutnya diamanatkan oleh PP51/2009 berupa :
1)
Pasal
21 (4) : Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut
jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan oleh Menteri.
2)
Pasal
29 : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 [Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada
fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai tugas
dan fungsinya] diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Runutan
Permenkes yang mengikutinya
Peraturan-peraturan
Menteri Kesehatan sebagai konsekuensi perintah PP25 Tahun 1980 terutama Pasal
I.3.b dan Pasal I.4 ayat (2) melahirkan Permenkes 922/MENKES/PER/X/1992 yang
selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang
Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek.
Karena Permenkes
922/MENKES/PER/X/1992 yang selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi Kepmenkes
1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek (yang melahirkan SIA) adalah merupakan
perintah dan menjadi bagian dari Pasal I.3.b dan Pasal I.4 ayat (2) yang
merupakan substansi administratif dari PP25/1980 sudah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku oleh Pasal 63 PP51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian; maka
Permenkes 922/MENKES/PER/X/1992 yang selanjutnya dirubah/disesuaikan menjadi
Kepmenkes 1332/MENKES/SK/V/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek
(yang melahirkan SIA) juga telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
B.
BAGAIMANA
PERIZINAN SEHARUSNYA ?
Dengan telah
diterbitkannya Permenkes 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik
dan izin Kerja Tenaga Kefarmasian maka :
1. Perizinan
Apotek (SIA) sudah tidak memiliki landasan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan
2. Perizinan
Praktik Apoteker (SIPA) merupakan perintah peraturan perundangan yang berlaku.
Sumber : PD IAI Jawa Barat